MAKASSAR, FAJAR – Inovasi Ketahanan Komunitas (INANTA) dan Church World Service (CWS), menggelar lokakarya aksi antisipatif banjir di Kota Makassar, Selasa, 20 Februari, di Swisbell In hotel Makassar.
Direktur Program CWS Indonesia, Irma P. Sopamena mengatakan, lokakarya ini merupakan komponen program Commmunity Led Early Action and Resilience (CLEAR), melalui aksi dini kesiapsiagaan bencana dan ketangguhan iklim, berbasis masyarakat.
”Program CLEAR ini telah berlangsung sejak pertengahan September 2023. Itu kami lakukan atas kerja sama INANTA dan CWS bersama Pemkot Makassar. Tentu saja itu berkat dukungan dari Australian NGO Cooperation (ANCP-AFP)- DFAT Australia,” ujarnya kepada FAJAR, Selasa, 20 Februari.
Lebih lanjut dia mengaku sangat senang atas dukungan pemerintah daerah, unsur vertikal dan pemerhati bencana lingkup Kota Makassar. Mereka semua turut berpartispasi dalam lokakarya ini, yang bisa menjadi referensi untuk mengetahui dan mengenal lebih mendalam terkait kegiatan aksi antisipasi.
”Harapannya, bisa tercapai kesepakatan dengan para pihak untuk menyusun model SOP, mengenai protokol aksi antisipasi banjir yang relevan. Tentu dengan indikator pemicu ancaman banjir yang ada di Kota Makassar,” lanjutnya.
Sementara Direktur Ekskutif INANTA, Leonardy Sambo mengapresiasi para pemerhati bencana di Kota Makassar, yang turut ambil bagian dalam diskusi lokakarya ini. Sebab melalui forum seperti ini, upaya antisipatif dan tindakan penanganan bisa efektif.
”Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas dalam memahami konteks penanganan aksi antisipatif. Tentu saja dalam siklus manajemen bencana dan kebijakan regulasi bencana,” kata dia
Kepala Bidang Penanganan Bencana Dinas Sosial Kota Makassar, Sember Pamboako menegaskan, Pemkot menyambut baik lokakarya aksi antisipatif ini. Menurutnya, dukungan berbagai pihak yang solutif, bisa memberi kemudahan pemerintah dalam mengambik tindakan.
”Dukungan dari INANTA dan CWS ini sangat strategis. Khususnya untuk mendukung pemerintah dalam isu pengurangan risiko bencana, juga adaptasi terhadap perubahan iklim di Kota Makassar,” bebernya.
Sementara Technical Advisor UN-OCHA, Hadrianus Edi Handoko mengatakan, pada dasarnya bencana banjir di Makassar sulit diatasi. Belum lagi jika ditambah dengan ancaman perubahan iklim.
Bahkan kata dia, Sulsel berada di peringkat lima dalam hal intensitas terjadinya bencana hidrometeorologi di Indonesia. Sehingga, banjir dan genangan memang sulit teratasi.
”Kita punya harapan besar untuk meminimalisir dampaknya. Kalau bencananya sulit dibendung, makanya risiko dari bencana itu yang diperkecil. Tentu dengan berbagai metode dan teknologi,” terangnya.
Lokakarya ini juga dihadiri sejumlah pihak pemerhati bencana di Kota Makassar, seperti BPBD Sulsel dan Makassar, BBWS Pompengan Jeneberang, Dinas Sosial, BMKG Wilayah IV Makassar, Studi Pasca Sarjana dan Kebencanaan UNHAS.
Kemudian juga PMI Sulsel dan Makassar, Pemerintah Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya, Tagana Dinas Sosial dan Tim Reaksi Cepat BPBD Makassar, Unsur media dari Harian Fajar, serta perwakilan komunitas pada empat kelurahan (Paccerakang, Katimbang, Manggala dan Tamangapa). (wid)